Senin, 16 Februari 2009

Tangisan Hati Terluka

Sudah beberapa hari ini dia terbaring lemah dengan tidak jarang bersimbah keringat dengan badan sedingin es batu. Dia sangat lelah. Kegiatan beberapa hari ini ternyata sukses memaksanya bertekuk lutut kepada sebuah penyakit. Tapi dia sering bilang 'Tidak apa-apa, hanya butuh sehari istirahat saja'. Padahal ini sudah 3 hari. Dan dia semakin merasa lemah. Aku tidak tahu kenapa. Malam sebelumnya kita tidak pulang terlambat, malah sempat makan bakso dan belanja di Alfamart. Tapi mungkin saat itu dia memang sudah lelah, tapi tidak berkeluh. Kupikir tidak apa-apa karena dia seperti biasa, ceria.

Aku masih berfikir dia memang hanya butuh istirahat saja. Minggu pagi hingga petang dihabiskannya tidur memuaskan raga, dan aku sengaja membiarkannya. Hanya siang setelah selesai masak aku membangunkannya untuk makan dan minum obat, dan begitu juga disaat petang.

Malamnya aku mulai berulah. Entah sedang sensitif atau memang aku kurang sensitif membaca kondisinya. Aku marah dengan memprotesnya kurang perhatiaan akhir-akhir ini. Dia tidak beraksi, hanya minta maaf dan membereskan barang-barang yang berantakan disekitarnya. Memang itu yang selalu dilakukannya sebagai penebus amarahku, membereskan sesuatu. Aku marah. Tapi tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata sudah mengambang, sengaja aku pergi ke kamar mandi jam 10 malam untuk membasuh badan dan..menangis.

Selesai mandi aku berangkat tidur. Dia mengeluhkan susah nafas. Dan bernafas dengan berisik. Aku marah! kenapa hanya dia yang harus aku perhatikan, aku juga butuh perhatiaan. selama ini aku sudah mengurusnya, memasak, membereskan rumah untuknya, mencuci dan menjaganya tanpa mengeluh dan aku lelah sekali. Antara amarah dan sedih, aku membentaknya. Dan menghambur ke kamar mandi untuk lagi-lagi menangis.

Dia mengetuk pintu dan minta maaf. Setelah situasi hati tenang, pintu kamar mandi ku buka. dia berdiri disana dengan limbung. dia bilang dadanya sakit. Amarah dan kesedihan berganti dengan panik. aku melihatnya berjalan ke tempat tidur dan tidak lama kemudian dia menangis. Dia bilang dia selalu menyusahkan aku. dia mengakui selalu begitu. dia hanya membuat sengsara istrinya. 'Aku tidak keberatan untuk mati, sejak dulu aku sudah siap. tapi aku nggak rela meninggalkan kamu dengan kondisi dan keadaan seperti ini'. 'Apa yang aku punya sekarang? aku sudah banyak berkorban untuk banyak orang. Sudah habis semua. Harta hilang, rumah rusak parah karena kebanjiran, anak, sekarang aku nggak mau kehilangan kamu'

'Aku sudah tua, sudah sakit-sakitan, aku penyakitan' 'Aku putus asa'. Dia menangis dengan hebatnya seperti seorang anak kehilangan mainan. Begitu jahatnya aku kepada seseorang yang begitu sayang dan tulus menjaga. Orang ini rela menukar nyawa demi cintanya. Dan aku sudah membuatnya menangis saat ketegaran di dadanya menghilang karena aku terlalu egois ingin mendapatkan sesuatu yang sebenarnya aku sudah punya.