Jumat, 03 April 2009

Did I marry the right guy?



Pernahkah kamu merasa tidak berdaya sebagai seorang perempuan bersuami?
Ketika semua ketidak relaan dan juga keinginan untuk berontak meledak menjadi sebuah amarah yang berusaha kau redam saat kamu sadar semua pikiran tersebut hanya akan bermuara pada sebuah dinding tebal yang dinamakan keutuhan rumah tangga?

Perempuan dimasaku cenderung melihat pernikahan sebagai sebuah jalan keluar ketika semua hal yang berada disekitanya menjadi diluar kendali dan melahap satu persatu impian yang dulu sempat bersemayam di dadanya. Ketika pintu keluar terbuka, kami cenderung melihat itu adalah sebuah tawaran mutlak, jarang-jarang dan tabu untuk ditolak. Sebagai seorang wanita suku Jawa, menolak jodoh berarti jadi perawan tua.

Untuk wanita biasa, dalam artikata hidup sederhana, makan seadanya dan tidak memilih acara window shopping dan nyalon sebagai hobbi favoritnya, usia 19 - 25 tahun adalah usia emas. Artinya, masyarakat akan menganggap perempuan itu sudah merekah dan bersemu merah jambu, siap untuk dipetik. Lewat dari itu, lupakan saja. Masih banyak yang masih bersedia dan bisa dipetik, kok!

Oleh karena itu, lewat dari usia 26, semua orang yang mengenalmu akan resah dan bertanya-tanya entah bertanya karena ingin tahu -untuk bahan gosip terbaru- atau tanya terselubung olokan sehingga dengan sengaja menaikkan 1 oktaf nada suaranya seolah kamu berada disebrang dimensi berbeda dan viola..semua mata tak akan bersusah-susah mencarimu dan sumber suara itu. 'Kok belum nikah, pasangannya mana?'. Sangat standart. Berkesan basa basi, tapi tidak.

Ketika aku bertemu dengan dia, usiaku belum genap 25. Bahkan belum selesai D3. Agak ngaret memang. Usia laki-laki ini 8 tahun diatasku. Kurang mempesona pada awalnya. Biasa saja orangnya. Jalan yang harus aku tempuh kala itu sungguh berat dan memburuk di waktu-waktu selanjutnya, oleh karena itu aku senang ada seseorang yang bersedia ikut menanggung setengah.

Seperti yang aku bilang diawal, di usia 25 banyak yang suka dan tertarik, tapi situasi dan kondisi pekerjaanku membuat aku selalu berhati-hati membaca keinginan mereka. Menjadi Waitress buka pekerjaan pilihan membanggakan untukku kala itu, tetapi ini adalah satu-satunya lahan paling menjanjikan ketahanan pangan dan keberlangsungan geliat ekonomi kantong seorang mahasiswi daerah.

Kehidupan keluargaku jauh dari kata sempurna, dibawah standar rata-rata kebahagiaan keluarga normal, dalam arti kata terdapat ayah, ibu dan minimal 2 anak sehat yang lucu. Kehilangan fungsi ayah didalam keluarga adalah sebuah kesalahan terbesar yang banyak memberi pengaruh dalam kehidupanku selanjutnya. Klise memang..tapi inilah kenyataanya.

Tidak ada yang terlalu sempurna dia di mataku. Tapi dia tahu bagaimana cara memperlakukan aku. Jika kamu menebak semua itu karena dia adalah laki-laki romantis, salah besar. Dia justru tipe pria dingin yang tidak terlalu muluk-muluk mengumbar kata cinta. Tapi dia bertanggung jawab, pria penuh cinta dengan tanggung jawab yang besar. Sementara aku sudah lelah terlalu lama menjadi wanita sok mandiri. Wanita yang mandiri karena terpaksa. Ketika itu aku baru tahu bagaimana rasanya mempunyai orang yang sanggup menanggung beban tanpa meminta aku untuk ikut-ikutan. Untukku dia adalah sebuah celah. Sebuah peluang. Jalan keluar dari derita perjuangan menafkahi diri tak berkesudahan dengan bekerja bagai keledai. Jujur aku berharap tidak perlu lagi bekerja keras memenuhi kebutuhan sendiri. Hey, seorang istri wajib di nafkahi. Aku bukan tanggung jawab diriku sendiri setelah menikah. Aku adalah tanggung jawab suamiku. So innocent. terlalu naif.

Dan kemudian..., mulailah lembaran terbaru dalam babak kehidupanku. Seorang mahasiswi usia 25 tahun tanpa pekerjaan karena keluar dari sebuah cafe tempatnya bekerja selama 16 jam sehari serta berstatus punya suami.