Rabu, 08 September 2010

Sang Pencerah

Sang Pencerah adalah sebuah film yang disutradarai oleh salah satu sutradara muda Indonesia. Banyak orang bilang ia berbakat. mungkin, karena aku sendiri bukan salah satu penikmat film buatan negeri ini. Bukan karena aku belagu, bukan juga aku sok dan kebarat-baratan sehingga mengalahkan karya lokal demi kepuasan panca indrawi. Hanya saja karena memang aku tidak terlalu suka dengan balutan dan ide-ide dari film lokal yang kebanyakan nggilani.

Tapi entah kenapa aku buat pengecualian untuk satu buah karya ini. Aku melihat triller film tersebut saat duduk asyik sambil ngemil keripik singkong rasa bumbu ayam vetcin pabrikan dan minum teh melati botolan dalam acara kencan nonton dgn hubby dimalam ulang tahunnya di bioskop 21 Setia Budi, menunggu pemutaran film Salt-nya Angelina Jolie. Seperti biasa muncullah berderet-deret iklan tanpa permisi dan basa basi. Aduh rugi amat deh nonton iklan pakai bayar karcis segala. Dan salah satu triller yang nyangkut diantara potongan-potongan heboh film berbuntut "cooming Soon" itu adalah film Sang Pencerah. Wow, boleh juga nih. Aku suka idenya. Sebuah sejarah tentang seorang kiai yang lahir dan besar di sebuah komunitas agamis di Yogjakarta. Tapi kemudian aku segera lupa karena di triller itu tdk dicantumkan waktu tayang di bioskop, hanya coming soon aja. Aneh, untuk apa bikin penasaran kalau kemudian kita tidak dikasih tahu tanggal mainnya? yang ada malah lupa deh hehehehe

Beberapa hari yang lalu aku dan hubby bertandang ke rumah seorang teman dekat. Tepatnya sih begadang, karena kami pulang pukul setengah 5 pagi. Temanku menceritakan tentang novel yang dikarang oleh saudara iparnya, novel itu ternyata berjudul sama dengan film yang aku pernah lihat trillernya di bioskop tempo hari. alhasil novel tebal itu berpindah tangan padaku, entah sampai kapan, karena hingga kini masih teronggok di pojok ruangan. Seperti mengingatkanku untuk mengbalikan pada tuannya. Tapi sebenarnya belum genap seminggu dia berpindah tangan, karena aku membuka halaman pertama dan menutup halaman terakhirnya hanya dalam waktu sehari saja. Yup benar, novel itu kulahap dalam tempo sehari! Aku suka alur cerita dan konflik yang dibangun oleh novel tersebut.

Dalam novel tersebut, Kiai Dahlan; sang tokoh, adalah seorang sosok yang penuh idealisme. Dahlan muda adalah seorang anak yang kritis. Ia adalah anak seorang kiai besar yang didalam darahnya mengalir darah sunan Maulana Malik IBrahim, salah seorang anggota Wali Songo. Wali Songo adalah 9 tokoh terkenal di pulau jawa yang mengenalkan agama Islam pertama kali kepada masyarakat di pulau jawa. Mereka menjadi suri tauladan, bahkan beberapa dari tokoh tersebut dikultuskan, dan makamnya sering menjadi sasaran ziarah massa.

Kiai Dahlan hidup di masa ketika Yogyakarta mengalami penderitaan dan kemiskinan hebat akibat tindakan tanam paksa yang diberlakukan oleh belanda. Sang penulis sangat pintar menggambarkan situasi kemiskinan dan keterpurukan tersebut. Lazim pada zaman tersebut semua orang tidak pakai sepatu. Hanya priyayi, londo (belanda) dan pejabat kerajaan saja yang bersepatu ataupun pakai selop. Karena itu kaki-kaki mereka menjadi lebar seperti kaki bebek. Aku jadi teringat oleh cerita dari guru biologi di SMP, bahwa kaki besar dan lebar itu ternyata ada untungnya sebab bila berjalan telanjang kaki di tempat licin tidak akan gampang terjatuh karena tapakan kaki lebar itu lebih stabil dan kokoh. hemh, guruku itu adalah seorang yang positif thinking, bisa memikirkan sesuatu yang menguntungkan dari situasi yang cukup memalukan untuk sebagian orang. Demikian juga dengan Kiai Dahlan, idealisme-nya dalam memandang setiap perkara yang dianggapnya salah dan tidak masuk akal keimanannya dan juga caranya mengajarkan ilmu keagamaan dengan mudah dimengerti membuatnya terkenal dan disukai anak muda. Namun tidak oleh mereka yang lebih tua. Bahkan kakak iparnya sendiri.

Namun sayang semua gambaran di novel tersebut tidak aku lihat di filmnya. Alurnya terlalu cepat, gambaran-gambaran mengenai sosok kiai Dahlan tidak terbangun dengan bagus. Konflik-konfliknya tidak terbangun dengan sempurna. Gambaran-gambaran suram mengenai rakyat tertindas yang menjadi pokok perjuangan kiai ini dan juga tradisi-tradisi yang dipertanyakannya tidak terbangun. Tokoh yang memerankan Siti Walidah, istrinya, juga tidak tepat. Yang aku lihat hanya dialog-dialog panjang dengan jeda terlalu di ulur. Intinya: KECEWA. Apalagi ku dengar film ini berbudget 24 Milyar. Sebuah pemborosan yang sia-sia jika hasilnya hanya seperti itu.
untuk rating skala 1 sampai dengan 10, poin 6 saja dariku. Maaf ya Hanung. Saya tidak suka hasil kerja Anda.